Ambisi Nikel yang Menggoda Oligarki

Reading Time: 3 minutes

Jakarta, Daya Anagata Nusantara (Danantara), tengah menarik perhatian publik karena pembicaraan kemitraannya dengan perusahaan pertambangan Prancis, Eramet SA, untuk berinvestasi di sebuah fasilitas pengolahan nikel high-pressure acid leach (HPAL) di Kawasan Industri Weda Bay, Maluku Utara. Meskipun dianggap sebagai langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV) global, rencana ini memunculkan sejumlah kekhawatiran serius terkait transparansi, risiko lingkungan, dan dampak ekonomi jangka panjang.

Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar di dunia sebesar 21 juta ton, memiliki ambisi besar untuk menjadi pusat produksi nikel kelas baterai, menargetkan 1,4 juta ton pada 2030. Kemitraan antara Danantara dan Eramet, yang mencakup akuisisi saham di pabrik HPAL milik Zhejiang Huayou Cobalt Co., dianggap sebagai langkah menuju hilirisasi industri nikel. Selain itu, Eramet berjanji untuk mentransfer teknologi dan melatih 350 insinyur Indonesia hingga 2027, yang dapat meningkatkan kapasitas teknis lokal.

Namun, di balik ambisi ini, terdapat sejumlah risiko yang tidak boleh diabaikan. Para pengkritik mempertanyakan apakah kemitraan ini benar-benar akan memberikan manfaat maksimal bagi Indonesia atau justru memperkaya pihak asing sambil meninggalkan beban lingkungan dan sosial bagi masyarakat lokal.

Kekhawatiran Transparansi dan Tata Kelola

Salah satu kritik utama terhadap rencana ini adalah lemahnya pengawasan terhadap Danantara. Sebagai entitas yang baru berdiri pada Februari 2025, Danantara memiliki mandat besar untuk mengelola aset BUMN senilai hingga $900 miliar. Namun, pengawasan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbatas, karena audit memerlukan persetujuan DPR. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan dana atau mismanajemen, mengingatkan pada skandal 1MDB di Malaysia yang merugikan miliaran dolar akibat korupsi.

Rosan Roeslani, CEO Danantara, menegaskan bahwa investasi hanya akan dilakukan pada proyek yang “siap investasi” dengan mempertimbangkan aspek seperti ketersediaan lahan dan keberlanjutan. Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, publik berhak mempertanyakan bagaimana keputusan investasi sebesar ini dibuat dan siapa yang benar-benar diuntungkan.

Risiko Lingkungan dari Teknologi HPAL

Penggunaan teknologi HPAL, meskipun efektif untuk menghasilkan nikel kelas baterai, dikenal memiliki dampak lingkungan yang signifikan. Proses ini menghasilkan limbah beracun dalam jumlah besar, seperti tailings, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat mencemari air tanah dan laut di sekitar Weda Bay. Maluku Utara, yang menjadi lokasi proyek, adalah wilayah dengan ekosistem laut yang kaya, dan kerusakan lingkungan dapat mengancam mata pencaharian masyarakat lokal, khususnya nelayan.

Meskipun Eramet mengklaim fokus pada produksi baterai EV yang berkelanjutan, track record industri HPAL di Indonesia menunjukkan bahwa pengelolaan limbah sering kali tidak memadai. Tanpa jaminan investasi dalam teknologi pengelolaan limbah yang canggih atau komitmen nyata untuk mematuhi standar lingkungan internasional, kemitraan ini berisiko memperburuk kerusakan lingkungan di wilayah tersebut.

Dampak Ekonomi: Siapa yang Untung?

Secara ekonomi, kemitraan ini dapat menciptakan lapangan kerja dan mendukung target emisi nol bersih Indonesia pada 2060. Namun, ada kekhawatiran bahwa manfaat ekonomi utama akan mengalir ke pihak asing, seperti Eramet dan Huayou Cobalt, sementara Indonesia hanya mendapatkan keuntungan jangka pendek. Dengan meningkatnya kapasitas HPAL global, harga nikel berpotensi turun, yang dapat merugikan margin keuntungan produsen lokal. Selain itu, keterlibatan perusahaan Tiongkok dalam proyek ini menimbulkan pertanyaan tentang diversifikasi rantai pasok atau justru memperkuat dominasi Tiongkok dalam industri nikel global.

Lebih lanjut, struktur investasi melalui MIND ID menambah lapisan birokrasi yang berpotensi menghambat efisiensi dan inovasi BUMN. Jika kemitraan ini tidak dikelola dengan baik, Indonesia berisiko menjadi sekadar pemasok bahan baku tanpa menguasai teknologi inti atau rantai nilai yang lebih tinggi.

Jalan ke Depan: Perlunya Transparansi dan Akuntabilitas

Untuk menjawab kritik ini, Danantara dan pemerintah perlu memastikan transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan melibatkan pemangku kepentingan lokal, termasuk masyarakat di Maluku Utara, dalam perencanaan proyek. Komitmen Eramet untuk melatih insinyur Indonesia harus diimbangi dengan pengawasan ketat terhadap implementasi teknologi HPAL agar sesuai dengan standar lingkungan global. Selain itu, pemerintah harus memperkuat mekanisme audit independen untuk mencegah risiko korupsi atau penyalahgunaan dana.

Kemitraan Danantara-Eramet memiliki potensi untuk memperkuat posisi Indonesia dalam industri baterai global, tetapi tanpa langkah konkret untuk mengatasi masalah transparansi, lingkungan, dan distribusi manfaat ekonomi, proyek ini berisiko menjadi pedang bermata dua. Publik berhak menuntut akuntabilitas agar ambisi nikel Indonesia tidak berakhir sebagai beban bagi generasi mendatang.

Penulis:


Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading