Tan Malaka: Pemikir Kiri Radikal dan Tokoh Revolusioner Internasional

Reading Time: 3 minutes

Di tengah gemuruh perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama Tan Malaka bagaikan petir yang menyambar, menerangi sekaligus mengguncang. Tan Malaka adalah seorang pemikir kiri radikal. Dia adalah penulis Madilog. Sebagai tokoh revolusioner internasional, ia adalah sosok yang tak bisa dilepaskan dari narasi perjuangan bangsa. Dengan pena yang tajam, Tan Malaka menorehkan peran penting di zamannya. Semangatnya tak pernah padam. Ia hidup di sebuah masa penuh gejolak. Pada masa itu, ide-ide besar bertabrakan dengan realitas kolonial yang keras.

Awal Kehidupan dan Kebangkitan Intelektual

Tan Malaka lahir sebagai Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka pada 1897 di Suliki, Sumatra Barat. Dia bukanlah sosok yang lahir dengan sendok perak. Ia adalah anak kampung yang haus ilmu, menempuh pendidikan di Kweekschool Bukittinggi sebelum melanjutkan ke Belanda pada 1913. Di negeri kincir angin itulah benih-benih pemikiran revolusionernya mulai tumbuh. Paparan terhadap sosialisme, Marxisme, dan gerakan buruh Eropa membentuk pandangannya tentang ketidakadilan kolonial yang menjerat bangsanya.

Kembali ke Indonesia pada 1919, Tan Malaka terjun ke dunia pendidikan dan politik. Ia mengajar di Deli, Sumatra Timur, sambil menyebarkan gagasan-gagasan anti-kolonial. Keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadikannya salah satu tokoh kunci dalam gerakan buruh dan anti-kolonial. Namun, yang membuatnya istimewa adalah kemampuannya memadukan pemikiran Marxis dengan realitas Indonesia, yang kemudian melahirkan karya monumentalnya, Madilog.

Madilog: Manifesto Pemikiran Kritis

Madilog—akronim dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—adalah karya yang mencerminkan kecerdasan Tan Malaka. Karya ini juga menunjukkan visinya untuk membangun cara berpikir yang rasional dan ilmiah. Hal ini sangat penting di tengah masyarakat yang masih terbelenggu tradisi dan dogmatisme. Diterbitkan pada 1943, buku ini adalah upaya Tan Malaka untuk membebaskan pikiran rakyat Indonesia dari belenggu feodalisme dan kolonialisme. Ia menyerukan pendekatan materialis-dialektis, yang menurutnya mampu mengurai kompleksitas sosial dan politik tanpa terjebak dalam romantisme atau mistisisme.

Sebagai seorang jurnalis, saya melihat Madilog sebagai lebih dari sekadar buku. Ini adalah seruan untuk berpikir kritis. Buku ini juga merupakan senjata intelektual yang relevan di tengah propaganda kolonial. Ia membantu melawan perpecahan internal di kalangan pejuang kemerdekaan. Tan Malaka tak hanya menulis; ia menantang bangsanya untuk bangkit melalui logika dan analisis, sebuah pendekatan yang jarang pada masanya.

Peran Revolusioner di Panggung Internasional

Tan Malaka bukan sekadar tokoh lokal. Ia adalah aktor di panggung internasional, seorang revolusioner yang dihormati sekaligus ditakuti. Setelah diasingkan oleh Belanda pada 1922 karena aktivitas politiknya, ia berkelana ke berbagai negara. Ia mengunjungi Rusia, Tiongkok, Filipina, hingga Thailand. Dia terlibat dalam jaringan komunis internasional seperti Komintern. Ia menjadi perwakilan Asia Tenggara dalam organisasi ini, menjadikannya salah satu tokoh Indonesia pertama yang berpengaruh di ranah global.

Namun, Tan Malaka bukan sekadar pengikut doktrin. Ia sering kali berbeda pendapat dengan Komintern, terutama dalam hal strategi revolusi di Indonesia. Baginya, revolusi harus berakar pada kondisi lokal—petani, buruh, dan rakyat kecil Indonesia—bukan sekadar meniru model Bolshevik. Keteguhan prinsip ini membuatnya diasingkan, baik oleh kawan maupun lawan, namun juga menegaskan keberaniannya sebagai pemikir independen.

Perjuangan di Masa Kemerdekaan

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Tan Malaka kembali dari pengasingan dengan semangat yang membara. Ia mendirikan Persatuan Perjuangan pada 1946. Itu adalah sebuah front yang menyerukan perlawanan total terhadap Belanda. Ia menolak kompromi diplomasi yang dianggapnya lemah. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan bukan sekadar pergantian kekuasaan. Ia melihatnya sebagai transformasi sosial yang menyeluruh. Ini adalah sebuah visi yang terlalu radikal bagi banyak pemimpin pada masa itu.

Namun, visi ini pula yang membuatnya terisolasi. Konflik dengan Sukarno, Mohammad Hatta, dan tokoh-tokoh lain yang lebih memilih jalur diplomasi membuat Tan Malaka menjadi persona non grata. Ia ditangkap pada 1946, dan meskipun kemudian dibebaskan, nasibnya berakhir tragis. Pada 1949, Tan Malaka dieksekusi. Keadaan eksekusinya hingga kini masih misterius. Kemungkinan Tan Malaka dieksekusi oleh pasukan Indonesia sendiri di Jawa Timur. Kematiannya menutup babak hidup seorang pejuang, tetapi gagasan-gagasannya terus hidup.

Warisan Tan Malaka

Sebagai seorang jurnalis, saya menyaksikan pergulatan ide-ide di masa itu. Tan Malaka saya lihat sebagai sosok yang terlalu jauh melampaui zamannya. Ia bukan hanya pejuang kemerdekaan, tetapi juga arsitek pemikiran yang berani menantang status quo. Dalam Madilog, ia meninggalkan alat untuk menganalisis dunia secara kritis. Dalam perjuangannya, ia menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal bendera, tetapi juga keadilan sosial dan kedaulatan rakyat.

Di tengah Indonesia modern, Tan Malaka tetap relevan. Gagasannya tentang keadilan sosial mengingatkan kita bahwa perjuangan belum usai. Ketimpangan ekonomi, korupsi, dan dominasi asing masih menghantui, dan Madilog mengajak kita untuk terus bertanya: apakah kita benar-benar merdeka? Tan Malaka, dengan segala kontroversinya, adalah cermin bagi bangsa ini—menggugah, menantang, dan tak pernah membiarkan kita berpuas diri.


Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading