Dalam deretan nama pejuang intelektual pra-kemerdekaan yang kerap luput dari sorotan utama sejarah Indonesia, nama Rustam Effendi patut mendapat perhatian lebih. Seorang sastrawan, guru, dan anggota parlemen di Belanda, Rustam menjadi simbol awal kebangkitan kesadaran nasional melalui pena dan gagasan—di masa ketika senjata belum terangkat, tapi kata-kata mulai menggugah.
🧠 Pendidik dan Sastrawan di Masa Penjajahan
Lahir pada 13 Mei 1903 di Padang, Sumatra Barat, Rustam Effendi adalah lulusan sekolah guru yang pada masanya merupakan salah satu jalur pendidikan elite bumiputera. Ia mulai dikenal lewat karya-karya sastra progresif yang diterbitkan dalam bahasa Melayu dan Belanda, dengan tema-tema antikolonial dan kritik sosial yang tajam.
Karya terkenalnya seperti drama “Bebasari” (1926), misalnya, menyampaikan pesan perlawanan terhadap penjajahan melalui simbolisme dan metafora. Drama ini dianggap sebagai salah satu karya awal yang secara eksplisit menyuarakan semangat kebangsaan dan kebebasan, menggunakan medium budaya sebagai senjata perlawanan intelektual.
🗳️ Anggota Parlemen Hindia-Belanda
Uniknya, Rustam tidak hanya berjuang lewat tulisan. Ia hijrah ke Belanda dan menjadi anggota parlemen Belanda (Tweede Kamer) mewakili Partai Komunis Belanda (CPN) pada 1933. Langkah ini menjadikannya pribumi Indonesia pertama yang duduk di lembaga legislatif kolonial.
Di parlemen, ia menyuarakan penderitaan rakyat Indonesia di bawah rezim kolonial, serta menyerukan penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan dalam sistem Hindia Belanda. Ia memperjuangkan hak-hak buruh, kemerdekaan pers, dan akses pendidikan bagi rakyat jajahan.
🧩 Analisa Peran dan Relevansi Sejarahnya
Rustam Effendi adalah sosok transisi antara sastrawan, intelektual, dan politisi yang bergerak dalam medan tempur yang belum bersenjata—medan gagasan. Peran strategisnya menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya terjadi di tanah air, tapi juga di jantung kekuasaan kolonial: parlemen Belanda.
Ia merepresentasikan fase awal kesadaran nasional modern, di mana ideologi, sastra, dan politik mulai menyatu dalam satu nadi: kemerdekaan. Keberaniannya berbicara di parlemen kolonial juga mencerminkan pendekatan diplomatis yang kelak diadopsi oleh tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Meski tidak setenar tokoh pergerakan seperti Soekarno atau Hatta, kontribusi Rustam Effendi penting untuk dipahami sebagai bagian dari mozaik perjuangan bangsa. Ia menunjukkan bahwa revolusi dimulai dari kesadaran, dari kata, dan dari keberanian mengubah narasi dalam sistem yang menindas.
🔚 Penutup
Rustam Effendi adalah cermin bahwa perjuangan tidak selalu identik dengan pertempuran fisik, tetapi juga perjuangan ide dan keyakinan yang dibangun melalui pendidikan, pena, dan diplomasi. Sebuah warisan yang patut dikenang, khususnya di era ketika kebebasan berpikir dan berbicara kembali diuji oleh zaman.
Discover more from LIDER-NEWS
Subscribe to get the latest posts sent to your email.