Kementerian Kebudayaan meluncurkan proyek nasional penulisan ulang sejarah Indonesia yang disebut-sebut sebagai langkah pelurusan sejarah bangsa. Namun, proyek ini justru menimbulkan kecurigaan luas dari kalangan akademisi, sejarawan independen, dan masyarakat sipil. Banyak yang menilai, sejarah yang ditulis oleh negara rentan sarat bias dan berpotensi menjadi alat propaganda politik.
Kekhawatiran ini makin mencuat karena proyek tersebut dipimpin oleh Kementerian yang kini dikomandoi oleh Fadli Zon, politisi senior Partai Gerindra — partai pimpinan Presiden Prabowo Subianto. Prabowo, selain memiliki latar belakang militer di era Orde Baru, juga merupakan menantu dari Presiden Soeharto, tokoh sentral rezim represif yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Hubungan ini memperkuat asumsi publik bahwa proyek sejarah ini bukan sekadar catatan akademik, melainkan rekonstruksi narasi untuk kepentingan politik kekuasaan yang sedang berkuasa.
Antara Fakta dan Fantasi Kekuasaan

Sejarah tidak pernah ditulis dalam ruang hampa. Ketika negara menjadi aktor dominan dalam penulisan sejarah, yang terjadi bukan sekadar pencatatan masa lalu, melainkan pembentukan ulang memori kolektif. Dalam sejarah Indonesia, kita telah menyaksikan bagaimana rezim Orde Baru berhasil membentuk persepsi publik melalui narasi tunggal tentang peristiwa 1965, menutup peran korban, dan memonopoli kebenaran sejarah demi stabilitas versi mereka sendiri.
Kini, dengan munculnya kembali figur-figur politik lama dan keluarganya di tampuk kekuasaan, publik wajar merasa cemas. Apakah sejarah yang sedang ditulis ini benar-benar sejarah, atau hanya upaya menghaluskan wajah masa lalu?
Kritik dari Akademisi dan Masyarakat Sipil
Dr. Murni Lubis, sejarawan dari Lembaga Kajian Sejarah Nusantara, menyampaikan kekhawatirannya, “Proyek ini berpotensi menjadi pengulangan masa lalu, ketika sejarah ditulis oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Sejarah yang bebas dan jujur hanya bisa lahir dari ruang akademik yang otonom, bukan dari meja birokrasi politik.”
Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat adat dan daerah, termasuk dari Tapanuli, mengeluhkan minimnya pelibatan komunitas lokal dalam proses ini. “Jangan-jangan sejarah Batak pun akan direduksi atau dipoles agar cocok dengan narasi besar Jakarta,” ujar seorang budayawan Tapanuli.
Perlunya Alternatif Sejarah yang Demokratis
Sejarah yang sehat harus mengakomodasi keragaman suara — dari pusat hingga pinggiran, dari elite hingga rakyat biasa. Proyek sejarah nasional seharusnya bukan menjadi monumen kekuasaan, melainkan refleksi kejujuran bangsa dalam melihat dirinya sendiri.
Jika pemerintah serius ingin meluruskan sejarah, maka pendekatan yang terbuka, partisipatif, dan tidak tersentralisasi adalah jalan satu-satunya. Tanpa itu, publik akan melihat proyek ini sebagai langkah mundur menuju era di mana sejarah dijadikan alat legitimasi dan glorifikasi penguasa.
Penutup
Sejarah bukan milik negara, tapi milik rakyat. Dan sejarah yang sehat adalah sejarah yang tidak takut pada luka, tidak alergi terhadap kritik, dan tidak berpihak pada satu kuasa. Bila tidak hati-hati, proyek ini justru akan menjadi bukti baru bahwa bangsa ini belum siap berdamai dengan masa lalunya — dan lebih memilih menulis fiksi atas nama sejarah.
Discover more from LIDER-NEWS
Subscribe to get the latest posts sent to your email.