Suara Batak Tapanuli – Di balik gemerlap kemudahan layanan transportasi digital, tersimpan kisah getir ribuan pengemudi ojek online (ojol) yang bekerja nyaris tanpa perlindungan, upah layak, atau kejelasan masa depan. Istilah “perbudakan modern” kini semakin sering disematkan pada sistem kerja platform digital seperti ojek online di Indonesia. Ironisnya, hingga kini pemerintah tampak bungkam, seolah tak berdaya menghadapi dominasi perusahaan teknologi yang memegang kendali penuh atas algoritma dan nasib para mitra pengemudi.
Realitas di Balik Layar Aplikasi
Para pengemudi ojol bekerja tanpa jam kerja tetap, tanpa jaminan kesehatan dan pensiun, serta menghadapi tekanan target dari sistem yang dikendalikan algoritma. Mereka bukan karyawan tetap, melainkan disebut sebagai mitra, sebuah istilah yang secara hukum menghindarkan perusahaan dari kewajiban hubungan industrial.
Namun, seiring dengan naiknya harga bahan bakar, kebutuhan hidup, dan persaingan antar pengemudi, pendapatan harian mereka semakin menyusut. Banyak pengemudi mengaku hanya mendapat Rp30.000 – Rp70.000 per hari setelah dipotong biaya bensin dan platform fee, jauh dari upah minimum regional (UMR).
Mengapa Ini Disebut Perbudakan Modern?
- Tanpa Perlindungan Tenaga Kerja: Tidak ada jaminan kesehatan, asuransi kecelakaan, atau cuti.
- Kendali Penuh Algoritma: Sistem penilaian dan distribusi order ditentukan sepihak oleh algoritma, sering kali tanpa transparansi.
- Ketergantungan Ekonomi: Ribuan pengemudi menggantungkan hidup sepenuhnya pada platform, tanpa alternatif pekerjaan lain.
- Sanksi Sepihak: Pemutusan kemitraan bisa dilakukan secara sepihak oleh perusahaan tanpa proses pembelaan yang adil.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut model kerja ini sebagai bentuk eksploitasi dalam ekonomi digital yang tidak lagi sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan hak pekerja.
Diamnya Pemerintah: Apa Penyebabnya?
Ketiadaan regulasi yang spesifik menjadi alasan utama lemahnya intervensi negara. Pemerintah terjebak dalam euforia “ekonomi digital” dan semangat “startup nation”, di mana inovasi teknologi sering kali dibiarkan tumbuh tanpa batas hukum yang memadai.
Beberapa penyebab diamnya pemerintah antara lain:
- Tekanan Investor dan Asing
Banyak platform ojol didanai modal ventura asing. Kebijakan yang dianggap merugikan investor bisa menimbulkan gejolak dalam ekosistem investasi. - Belum Ada Klasifikasi Status Kerja Digital
Undang-Undang Ketenagakerjaan belum mengatur secara jelas status kerja “mitra platform”, sehingga sulit memberi perlindungan hukum secara menyeluruh. - Ketergantungan pada Infrastruktur Teknologi Swasta
Pemerintah justru menggunakan infrastruktur digital milik perusahaan-perusahaan ini untuk layanan publik, menciptakan relasi yang tidak setara. - Minimnya Organisasi Buruh Digital
Tidak ada serikat pekerja kuat yang mewakili suara pengemudi secara kolektif dan terstruktur.
Menuju Solusi: Regulasi atau Nasionalisasi Digital?
Ke depan, Indonesia membutuhkan regulasi khusus untuk ekonomi platform digital. Beberapa negara seperti Spanyol dan Inggris telah menetapkan aturan yang mengakui pengemudi ojol sebagai pekerja dengan hak penuh. Pemerintah harus segera menyusun regulasi berbasis fair work, bukan hanya berpihak pada pertumbuhan ekonomi semata.
Jika tidak, platform digital akan terus mereplikasi pola perbudakan baru yang dibungkus dengan slogan “kebebasan kerja”, padahal realitasnya jauh dari kata merdeka.
Discover more from LIDER-NEWS
Subscribe to get the latest posts sent to your email.