Selama kepemimpinan Joko Widodo (2014–2024), terjadi banyak kasus perampasan tanah terkait proyek tambang, terutama yang memengaruhi komunitas adat. Laporan dari organisasi seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan 301 kasus perampasan tanah adat antara 2019 dan 2023, dengan mayoritas terkait tambang nikel dan panas bumi, terutama di Sulawesi dan Kalimantan. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga melaporkan 13 kasus perampasan lahan untuk tambang pada 2020 saja, dengan total 116 konflik tambang sejak 2014, meskipun tidak semuanya perampasan tanah.
Dampak dan Kontroversi
Kasus ini sering melibatkan kriminalisasi, dengan 672 orang dari komunitas adat menjadi korban, dan luas lahan yang dirampas mencapai 8,5 juta hektar. Kontroversi muncul karena proyek strategis nasional (PSN) dan kebijakan seperti UU Cipta Kerja dianggap mempermudah perampasan, meskipun pemerintah memiliki program seperti pembagian sertifikat tanah. Komunitas adat merasa terpinggirkan, sementara pemerintah mungkin melihat ini sebagai bagian dari pembangunan nasional.

Konteks Kebijakan dan Dampak
Perampasan tanah ini sering dikaitkan dengan kebijakan proyek strategis nasional (PSN) dan hilirisasi, yang dianggap oleh beberapa pihak, seperti WALHI, mempercepat proses pengambilan lahan untuk kepentingan pembangunan, termasuk tambang.
Dampaknya sangat terasa pada komunitas lokal, terutama adat, dengan banyak kasus yang melibatkan kekerasan aparat negara dan intimidasi, seperti yang terlihat dalam kasus Wadas, di mana warga menolak pengukuran lahan untuk tambang andesit
Beberapa kasus spesifik yang disebutkan melibatkan wilayah seperti Pulau Wawonii, di mana PT Gema Kreasi Perdana dituduh menerobos lahan masyarakat dengan dukungan aparat, serta kasus di Desa Karang-karangan, Luwu, di mana PT Bumi Mineral Sulawesi diduga merampas lahan warga.
Sumber Data | Periode | Jumlah Kasus Perampasan Tanah | Fokus Utama | Lahan Terdampak |
---|---|---|---|---|
AMAN (detik.com, alinea.id) | 2019–2023 | 301 kasus | Tanah adat, terutama tambang nikel | 8,5 juta hektar |
JATAM (BBC News Indonesia) | 2020 | 13 kasus | Konflik tambang, termasuk perampasan | Tidak disebutkan |
JATAM (Total konflik) | 2014–2020 | Total 116 konflik (bukan semuanya perampasan) | Berbagai jenis konflik tambang | >700 ribu hektar (2020) |

Kontroversi dan Persepsi
Isu ini sangat kontroversial, dengan komunitas adat dan organisasi lingkungan seperti WALHI serta JATAM menilai kebijakan Jokowi, seperti PSN dan UU Cipta Kerja, mempermudah perampasan lahan atas nama pembangunan. Sebaliknya, pemerintah, melalui laporan resmi seperti di indonesia.go.id, mengklaim telah menyelesaikan ribuan sengketa tanah dan membagikan 1,2 juta hektar lahan ke rakyat miskin, meskipun tidak spesifik untuk kasus tambang. Ketegangan ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara kepentingan pembangunan nasional dan hak masyarakat lokal.
Kasus Dairi: Perjuangan Lokal
Di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, komunitas Batak Toba telah menentang tambang seng yang dioperasikan oleh PT Dairi Prima Mineral (DPM). Warga khawatir tambang ini akan merusak sumber air, lahan pertanian, dan hutan yang vital bagi mata pencaharian mereka, termasuk tanaman seperti gambir. Aksi protes telah berlangsung di Dairi, Medan, dan Jakarta, dengan perjuangan hukum yang masih berlangsung, termasuk banding kasasi ke Mahkamah Agung terhadap izin lingkungan tambang. Seorang warga, Elizabeth, menyatakan, “Kami tidak butuh tambang, yang kami perlukan adalah udara sehat dan rasa aman, nyaman tanpa perusakan lingkungan.”
Analisis Kritis: Kegagalan Melindungi Rakyat
Kegagalan pemerintah terlihat dari kriminalisasi pembela tanah, dengan 672 orang adat terdampak secara nasional, dan kurangnya penegakan hukum seperti UUPA 1960, yang mengamanatkan hak tanah untuk semua warga negara. Di Dairi, meskipun ada protes masyarakat dan tindakan hukum, respons pemerintah lambat, dengan izin masih diberikan kepada korporasi, menunjukkan bias terhadap pembangunan ekonomi ketimbang kesejahteraan masyarakat. Marginalisasi ini sangat dirasakan oleh komunitas Batak Tapanuli, yang memiliki ikatan budaya dan ekonomi yang kuat dengan tanah mereka.
hingga 26 Mei 2025, kasus PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, masih berlangsung dengan perkembangan signifikan di ranah hukum, namun belum sepenuhnya terselesaikan. Berikut adalah ringkasan data terbaru terkait penyelesaian kasus ini, termasuk analisis kritis terhadap peran pemerintah:
Perkembangan Hukum
- Kemenangan Warga di Mahkamah Agung (MA):
- Pada 2024, warga Dairi memenangkan gugatan kasasi di Mahkamah Agung dengan nomor perkara 277 K/TUN/LH/2024. Putusan ini membatalkan izin lingkungan PT DPM yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SK No. 854/MENLHK/SETJEN/PLA.4/8/2022. MA memerintahkan KLHK untuk mencabut izin tersebut, mengafirmasi putusan PTUN Jakarta pada 24 Juli 2023 yang menyatakan izin lingkungan DPM tidak sah.
- Kegagalan Eksekusi Putusan MA: Meskipun warga Dairi telah mengajukan permohonan pelaksanaan putusan MA sebanyak dua kali (1 November 2024 dan 14 Februari 2025), KLHK belum melaksanakan perintah untuk mencabut izin lingkungan PT DPM. Hal ini memicu kekecewaan warga dan organisasi pendamping seperti Sekretariat Bersama Tolak Tambang dan JATAM. Judianto Simanjuntak, kuasa hukum warga, menegaskan bahwa pelaksanaan putusan MA sangat mendesak untuk menjamin keselamatan warga Dairi dan kelestarian lingkungan. Nurleli S figure, pengacara dari Bakumsu, menyoroti bahwa tindakan KLHK yang mengabaikan putusan MA menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban negara untuk melindungi hak warga.
- Upaya Hukum Lanjutan oleh PT DPM: PT DPM, yang dimiliki oleh PT Bumi Resources Minerals (BRMS) dan Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd (NFC) dari Tiongkok, menyatakan akan mengajukan upaya hukum luar biasa, seperti Peninjauan Kembali (PK) di MA, dengan klaim bahwa sebagian masyarakat di Desa Longkotan mendukung operasi tambang. Namun, penggugat utama berasal dari Desa Bongkaras, Pandiangan, dan Lae Panginuman, dengan dua desa terakhir bukan bagian dari desa lingkar tambang, menunjukkan adanya polarisasi sosial.
- Pengelolaan Opini Publik: PT DPM telah berupaya mengelola opini publik untuk mengurangi penolakan masyarakat, melalui strategi komunikasi interpersonal, pendekatan partisipatif, dan advokasi. Pada April 2025, PT DPM melaksanakan program PPM berupa penyaluran makanan bergizi untuk 446 balita dan 732 lansia di desa-desa sekitar tambang, sebagai bagian dari upaya membangun hubungan baik dengan masyarakat.
Kesimpulan
Kasus PT Dairi Prima Mineral belum terselesaikan sepenuhnya per Mei 2025, dengan kemenangan hukum warga di MA belum dieksekusi oleh KLHK, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melindungi hak warga dan lingkungan. Ancaman terhadap keselamatan, lahan pertanian, dan hutan lindung tetap menjadi kekhawatiran utama masyarakat Batak Tapanuli di Dairi.
Discover more from LIDER-NEWS
Subscribe to get the latest posts sent to your email.