Penyebab Tingginya Pengangguran di Papua

Reading Time: 4 minutes

Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi di Indonesia adalah Papua dengan TPT sebesar 6,68%.

Berikut adalah beberapa provinsi lain dengan TPT tinggi berdasarkan data terkini:

Banten: 6,68% Papua Barat Daya: 6,48% Kepulauan Riau: 6,39% DKI Jakarta: 6,21% Jawa Barat: 6,75% data Agustus 2024.

Data TPT dihitung sebagai persentase angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja, termasuk mereka yang aktif mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan. Jawa Barat sempat dilaporkan sebagai provinsi dengan TPT tertinggi per Agustus 2024 (6,75%), namun data terbaru menunjukkan Papua menduduki posisi teratas pada Februari 2025.

Tingginya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua meskipun memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) dan program pembangunan era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat dijelaskan oleh beberapa faktor struktural, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Berikut adalah analisis penyebabnya berdasarkan informasi yang tersedia:

1. Kekayaan Sumber Daya Alam Tidak Terserap secara Optimal

  • Pengelolaan SDA yang Kurang Optimal: Papua kaya akan sumber daya alam seperti mineral (tembaga, emas, nikel), hasil hutan, dan potensi energi air (misalnya Sungai Mamberamo dengan potensi tenaga air 12.284 MW). Namun, pengelolaan SDA ini sering kali dikuasai oleh pihak asing atau perusahaan besar, bukan oleh masyarakat lokal, sehingga manfaat ekonominya tidak sepenuhnya dirasakan oleh penduduk Papua. Keterbatasan kapasitas masyarakat lokal dalam mengelola aset ini juga menjadi kendala utama.
  • Minimnya Keterlibatan Tenaga Kerja Lokal: Banyak proyek SDA, seperti tambang atau infrastruktur, memerlukan tenaga kerja terampil dengan kualifikasi tinggi. Namun, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di Papua, ditunjukkan oleh angka Rataan Lama Sekolah (RLS) yang rendah, membuat masyarakat lokal sulit bersaing untuk posisi pekerjaan formal di sektor-sektor ini.
  • Fokus pada Ekstraksi, Bukan Pengolahan: Kekayaan alam Papua lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah, bukan diolah secara lokal. Hal ini mengurangi peluang penciptaan lapangan kerja di sektor pengolahan atau industri turunan.

2. Tantangan Implementasi Program Pembangunan Jokowi

  • Infrastruktur Belum Sepenuhnya Mendukung Ketenagakerjaan: Program pembangunan Jokowi, seperti Trans Papua dan peningkatan Dana Otonomi Khusus (Otsus), memang meningkatkan akses infrastruktur dan anggaran untuk Papua. Namun, proyek-proyek ini sering kali bersifat jangka panjang dan belum langsung menciptakan lapangan kerja yang signifikan bagi masyarakat lokal. Misalnya, pembangunan jalan Trans Papua menghadapi tantangan seperti medan yang sulit dan masalah keamanan, yang kadang menghentikan proyek sementara.
  • Pemekaran DOB Belum Maksimal: Penambahan empat Daerah Otonomi Baru (DOB) (Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Tengah) dimaksudkan untuk meningkatkan lapangan kerja, seperti yang dilaporkan dengan penurunan pengangguran di Jayapura dari 10 ribu menjadi 5 ribu orang. Namun, efeknya tidak merata di seluruh wilayah Papua, terutama di daerah terpencil, karena fokus pembangunan lebih pada perdagangan dan jasa di kota-kota besar seperti Jayapura, bukan di wilayah pegunungan atau pedalaman.
  • Kesenjangan Distribusi Manfaat: Dana Otsus dan perubahan struktur fiskal (80% untuk kabupaten/kota, 20% untuk provinsi) di Papua memang meningkat. Namun, alokasi ini belum sepenuhnya efektif menciptakan lapangan kerja karena kurangnya pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja lokal. Banyak pekerjaan baru yang tercipta di sektor perdagangan atau jasa lebih menguntungkan pekerja dari luar Papua.

3. Kesenjangan Keterampilan dan Pendidikan

  • Rendahnya Kualitas SDM: Rendahnya tingkat pendidikan di Papua, terutama di wilayah pegunungan, menyebabkan banyak penduduk tidak memenuhi kualifikasi untuk pekerjaan formal di sektor industri atau infrastruktur. Menurut BPS (2017), kepadatan penduduk yang rendah (10 jiwa/km²) juga menghambat pengelolaan SDA secara optimal karena kurangnya tenaga kerja terampil.
  • TPT Tinggi pada Lulusan SMA: Data menunjukkan bahwa TPT tertinggi di Papua justru ada pada lulusan SMA/sederajat (6 dari 100 angkatan kerja SMA menganggur), sedangkan TPT terendah ada pada mereka yang tidak tamat SD, yang banyak bekerja sebagai pekerja keluarga tak dibayar di sektor pertanian. Ini menunjukkan bahwa lulusan SMA sering kali tidak memiliki keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh pasar kerja modern.
  • Kurangnya Pelatihan Keterampilan: Meskipun ada upaya seperti Skill Development Centre dan Balai Latihan Kerja, skala dan jangkauan pelatihan ini masih terbatas, terutama di wilayah pedesaan atau pegunungan, sehingga tidak mampu menyerap angkatan kerja muda yang besar.

4. Struktur Ekonomi dan Dominasi Sektor Informal

  • Dominasi Sektor Pertanian: Sektor pertanian menyumbang 69,98% penyerapan tenaga kerja di Papua, tetapi banyak di antaranya adalah pekerja keluarga tak dibayar dengan produktivitas rendah. Pekerjaan ini tidak menghasilkan output ekonomi yang signifikan, sehingga tidak mampu mengurangi TPT secara substansial.
  • Keterbatasan Diversifikasi Ekonomi: Perekonomian Papua masih bergantung pada sektor primer (pertanian, pertambangan) dan kurang berkembang di sektor industri atau jasa modern. Hal ini membatasi peluang kerja di sektor formal yang biasanya menyerap tenaga kerja terampil.

5. Faktor Sosial dan Geografis

  • Tantangan Geografis: Wilayah Papua yang luas (lebih dari 400.000 km²) dan terpencil menyulitkan distribusi manfaat pembangunan ke daerah-daerah pedalaman. Infrastruktur yang belum merata membuat akses ke peluang kerja terbatas, terutama di wilayah pegunungan yang memiliki TPT lebih rendah karena dominasi pekerjaan informal.
  • Masalah Keamanan: Isu keamanan di beberapa wilayah Papua, seperti yang disebutkan Jokowi terkait proyek Trans Papua, menghambat kelancaran pembangunan dan investasi, yang pada akhirnya memengaruhi penciptaan lapangan kerja.
  • Migrasi dan Persaingan Tenaga Kerja: Migrasi tenaga kerja dari luar Papua ke kota-kota besar seperti Jayapura meningkatkan persaingan kerja, terutama untuk pekerjaan formal, sehingga masyarakat lokal sering kali tersisih.

6. Ketimpangan Struktural dan Kebijakan

  • Ketergantungan pada Ekonomi Ekstraktif Kapitalis: Beberapa sumber menyoroti bahwa pengelolaan SDA di Papua sering diprivatisasi untuk kepentingan pemodal besar, bukan rakyat lokal, sehingga kekayaan alam tidak berdampak signifikan pada pengurangan pengangguran. Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan cenderung memperburuk ketimpangan distribusi manfaat.
  • Lingkaran Kemiskinan dan Pengangguran: Rendahnya pendidikan dan kemiskinan (27,43% pada 2018, tertinggi di Indonesia) menciptakan lingkaran setan, di mana penduduk sulit mengakses pekerjaan layak, yang pada gilirannya mempertahankan tingkat pengangguran tinggi.

Solusi yang Diperlukan

Untuk mengatasi tingginya TPT di Papua, beberapa langkah strategis dapat dipertimbangkan:

  • Peningkatan Pelatihan Keterampilan: Perluasan program pelatihan seperti Skill Development Centre yang menargetkan kebutuhan industri lokal, terutama untuk masyarakat asli Papua (OAP).
  • Diversifikasi Ekonomi: Mengembangkan sektor industri pengolahan dan jasa untuk mengurangi ketergantungan pada sektor primer.
  • Peningkatan Infrastruktur Pendidikan: Investasi dalam pendidikan untuk meningkatkan RLS dan kualitas SDM, terutama di wilayah terpencil.
  • Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi lokal untuk menyerap tenaga kerja informal.
  • Kebijakan Inklusif untuk OAP: Memastikan kebijakan pembangunan seperti DOB dan Otsus lebih berfokus pada pemberdayaan masyarakat asli Papua, bukan hanya pada pembangunan infrastruktur fisik.

Kesimpulan

Meskipun Papua kaya akan SDA dan mendapat perhatian melalui program pembangunan Jokowi seperti Trans Papua dan Dana Otsus, tingginya TPT tetap dipengaruhi oleh rendahnya kualitas SDM, pengelolaan SDA yang tidak inklusif, tantangan geografis, dan ketimpangan distribusi manfaat pembangunan. Upaya untuk mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan yang lebih terfokus pada pemberdayaan masyarakat lokal, pelatihan keterampilan, dan diversifikasi ekonomi untuk memastikan manfaat pembangunan dirasakan secara merata oleh penduduk Papua.


Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading