Penyebab Kasus Korupsi & Kredit Tidak Layak Sritex

Reading Time: 4 minutes

Kejaksaan Agung menetapkan sebagai tersangka pada 21 Mei 2025. Penetapan ini berkaitan dengan penyalahgunaan dana kredit dari Bank BJB dan Bank DKI yang seharusnya digunakan untuk modal kerja perusahaan.

Dugaan korupsi yang melibatkan Sritex (PT Sri Rejeki Isman Tbk), salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, kembali mencuat ke permukaan setelah terungkap bahwa Bank BJB dan Bank DKI memberikan kredit jumbo kepada perusahaan tersebut tanpa analisis risiko yang memadai. Kejaksaan Agung menetapkan sebagai tersangka pada 21 Mei 2025 Iwan Setiawan Lukminto, mantan Direktur Utama Sritex (2005-2022) dan saat ini Komisaris Utama, Zainuddin Mappa (eks Dirut Bank DKI 2020) dan Dicky Syahbandinata (eks Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB).

Latar Belakang Kasus

Dalam laporan penyidikan terbaru oleh Kejaksaan Agung, disebutkan bahwa Bank BJB dan Bank DKI menyalurkan fasilitas pinjaman senilai ratusan milliar rupiah kepada Sritex tanpa mematuhi prinsip kehati-hatian (prudential banking). Kredit tersebut disalurkan meski Sritex telah menunjukkan gejala gagal bayar dan penurunan kinerja keuangan sejak 2020, termasuk penundaan pembayaran utang dan pengajuan restrukturisasi kepada kreditur lainnya.

Fakta-Fakta Utama Kasus

  1. Pemberian Kredit Tanpa Analisis Memadai: Bank BJB dan Bank DKI memberikan kredit kepada Sritex tanpa melakukan analisis risiko yang memadai dan tidak menaati prosedur serta persyaratan yang telah ditetapkan. Kredit diberikan meskipun Sritex memiliki peringkat risiko kredit BB-, yang menunjukkan risiko tinggi gagal bayar.
  2. Tekanan Politik dan Intervensi Elite Bisnis
    Beberapa analis menduga adanya tekanan politik atau hubungan erat antara elite bisnis dan pihak pengambil keputusan di bank. Hal ini memperlemah fungsi independensi kredit dan menjadikan bank sebagai instrumen kepentingan politik.
  3. Penyalahgunaan Dana Kredit: Iwan Setiawan Lukminto diduga menyalahgunakan dana kredit yang diterima dari kedua bank tersebut. Alih-alih digunakan untuk modal kerja, dana tersebut digunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, termasuk pembelian tanah di Yogyakarta dan Solo.
  4. Kerugian Negara: Akibat tindakan tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp692,98 miliar. Total kredit macet yang melibatkan Sritex mencapai Rp3,58 triliun, termasuk dari Bank Jateng dan sindikasi bank lainnya.
  5. Kurangnya Pengawasan OJK dan BI
    Kasus ini juga mencerminkan lemahnya pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia terhadap aktivitas perbankan yang berisiko tinggi. Sistem pelaporan dan pemantauan dini (early warning system) tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kegagalan sistemik dalam pengawasan internal maupun eksternal perbankan.

Praktik ini dinilai sebagai bentuk kelalaian sistemik yang merugikan keuangan negara dan memperlemah kepercayaan publik terhadap OJK dan Bank Indonesia karna lalai dalam pengawasan perbankan terutama Bank Daerah. Meskipun regulasi dan SOP perbankan di Indonesia sudah mapan—dengan acuan seperti:

  • Peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tentang penilaian kualitas aset dan manajemen risiko
  • Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998
  • Standar operasional internal bank yang mengatur analisis kelayakan kredit (5C: character, capacity, capital, collateral, condition)

Pemberian kredit yang tidak layak seperti dalam kasus Sritex bisa tetap terjadi karena beberapa faktor sistemik dan manipulatif berikut:

1. Intervensi dari Pihak Internal Bank

  • Pemberi keputusan kredit (pejabat eksekutif) di Bank DKI dan Bank BJB disebut telah melanggar SOP dengan tetap menyetujui pencairan meski hasil analisa risiko menunjukkan status non-viable (BB-).
  • Ini menunjukkan adanya rekayasa internal atau penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan kredit, termasuk kemungkinan adanya “arahan dari atas”.

2. Moral Hazard Kepentingan Politik Kotor

  • Praktik kolusi antara bankir dan debitur besar menjadi penyebab utama. Kedekatan personal atau relasi bisnis memungkinkan kompromi terhadap penilaian risiko.
  • Adanya “too big to fail syndrome”—keyakinan bahwa perusahaan besar seperti Sritex tidak akan dibiarkan gagal—mendorong bank memberikan kredit walau jelas tidak layak.

3. Korupsi di Pengawasan Internal

  • Unit risk management dan credit review seharusnya menjadi benteng terakhir untuk mencegah pemberian kredit bermasalah.
  • Dalam kasus ini, review tersebut diabaikan atau dipalsukan, yang menunjukkan adanya fraud internal atau pembiaran.

4. Manipulasi Dokumen dan Laporan Keuangan

  • Debitur bisa menyampaikan laporan keuangan yang telah dimanipulasi untuk tampak sehat, dan pihak bank tidak melakukan due diligence yang memadai, seperti audit independen atau verifikasi data lapangan.

Kesimpulan Strategis

Meskipun SOP dan regulasi sudah tersedia, integritas eksekutor, sistem kontrol internal, dan mekanisme pengawasan yang efektif adalah kunci. Kasus Sritex menunjukkan adanya kerusakan sistemik dari dalam & luar, bukan sekadar kelalaian teknis. Jika bank tetap memberikan kredit meski tidak layak, itu bukan karena SOP lemah—melainkan karena SOP sengaja dilanggar atau dilewati oleh aktor-aktor yang berkolusi.

Analisis Dampak

  • Terhadap Bank Pemberi Kredit: Bank BJB dan Bank DKI menghadapi potensi kerugian besar akibat kredit macet yang tidak terselesaikan. Hal ini berpotensi menggerus modal inti dan menurunkan tingkat kepercayaan investor serta nasabah.
  • Terhadap Sektor Keuangan Nasional: Skandal ini mencoreng reputasi sistem perbankan Indonesia dan menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi penyakit kronis yang menyusup ke lembaga keuangan daerah maupun pusat.
  • Terhadap Masyarakat: Dana publik yang dihimpun melalui tabungan dan pajak, secara tidak langsung, menjadi korban dari kegagalan tata kelola dan praktik korupsi di perbankan

Rekomendasi strategis untuk mencegah hal ini ke depan:

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah melakukan analisis dan pengawasan terhadap sektor perbankan pemerintah pusat dan daerah, khususnya terkait dengan praktik maladministrasi yang dapat berujung pada korupsi dalam pemberian kredit.

Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman bersifat mengikat secara hukum, moral, dan politik. Instansi yang tidak melaksanakan rekomendasi dapat dikenai sanksi administratif dan dipublikasikan ketidakpatuhannya kepada publik, DPR, dan Presiden.

  • Audit forensik berkala pada seluruh kredit di atas ambang risiko tertentu
  • Penerapan sistem whistleblower anonim dengan perlindungan hukum
  • Penguatan independensi fungsi risk management dan credit committee
  • Reformasi tata kelola direksi bank milik negara agar bebas intervensi politik atau koneksi bisnis.

Dalam menangani laporan terkait fraud perbankan, Ombudsman dan OJK memiliki kewenangan yang saling melengkapi. Masyarakat dapat melaporkan kasusnya ke salah satu lembaga tersebut, dan diharapkan kedua lembaga dapat berkoordinasi untuk menyelesaikan laporan secara efektif.


Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading