Di tengah cengkraman kolonialisme yang membungkam suara rakyat, berdirilah seorang anak bangsa dengan pena sebagai senjatanya. Dialah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo—tokoh yang menjadikan media bukan sekadar alat informasi, melainkan senjata perjuangan.
Pelopor Pers Nasional dan Penggerak Kesadaran Bangsa
R.M. Tirto Adhi Soerjo bukan hanya seorang wartawan. Ia adalah pelopor, pejuang, dan pemikir progresif. Ia menolak tunduk di bawah kuasa penjajahan Belanda. Lahir dari keluarga priyayi Jawa, Tirto justru memilih jalan yang tak nyaman. Dia membela rakyat kecil dan membongkar ketidakadilan. Dia juga menulis kenyataan yang pahit bagi penguasa.
Di awal abad ke-20, ketika bangsa ini belum mengenal konsep “Indonesia” secara utuh, Tirto telah menyadari kekuatan media. Ia menerbitkan Medan Prijaji (1907), surat kabar pertama yang benar-benar dimiliki, dikelola, dan ditujukan untuk bumiputera. Di sana, ia tidak sekadar melaporkan peristiwa. Ia menulis dengan daya gugah, membakar kesadaran, dan menggugah harga diri kaum pribumi.
Pers sebagai Sarana Emansipasi Sosial
Dalam tulisan-tulisannya, Tirto mengecam perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial terhadap bumiputera. Ia mengangkat suara mereka yang bisu dalam sistem feodal dan kolonial yang menindas. Ia percaya bahwa rakyat perlu tercerahkan—bukan dengan kekerasan, melainkan dengan informasi dan pendidikan.
Gaya penulisannya mengalir lugas namun berani. Ia tak ragu menyebut nama pejabat kolonial yang bertindak sewenang-wenang, dan kerap menjadikan tokoh pribumi sebagai subjek narasi perjuangan. Dalam konteks itu, Tirto tak hanya menjadi jurnalis, ia adalah intelektual publik yang menciptakan ruang perlawanan dalam sunyi.
Jejak yang Menjadi Pondasi
Peran penting Tirto tidak berhenti pada dunia pers. Ia merintis organisasi politik awal, seperti Sarekat Priyayi. Ia juga terlibat dalam embrio pergerakan nasional yang kelak melahirkan Budi Utomo dan Sarekat Islam. Bagi Tirto, perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui kesadaran kolektif—dan itu dibentuk lewat tulisan yang mencerdaskan.
Namanya sempat tenggelam, dihapus dari banyak narasi sejarah resmi. Namun kebenaran tetap menemukan jalannya. Pada tahun 1973, pemerintah secara resmi menganugerahkan gelar Bapak Pers Nasional kepada Tirto Adhi Soerjo. Ini dilakukan sebagai pengakuan atas peran vitalnya dalam membentuk kesadaran pers dan kebangsaan Indonesia.

Refleksi untuk Zaman Kini
Di era digital saat ini, arus informasi mengalir deras. Namun, maknanya kadang kosong. Sosok Tirto seakan memanggil kembali para jurnalis dan pemilik media. Kembali pada misi awal pers sebagai alat pembebasan, bukan alat propaganda. Pers harus menjadi suara rakyat, bukan corong kekuasaan.
Tirto menulis bukan untuk menjadi populer. Ia menulis untuk menyulut pemikiran dan membangunkan bangsa dari tidur panjangnya. Dalam satu bait kalimat, ia mengandung protes, dalam satu paragraf, ia menabur harapan.
Penutup
Dalam persona R.M. Tirto Adhi Soerjo yang hidup hari ini, kita diingatkan bahwa seorang wartawan bukan hanya pencatat peristiwa. Ia adalah penafsir zaman, penunjuk arah, dan penjaga nurani bangsa.
Tulislah yang benar, walau menyakitkan.
Itulah warisan Tirto.
Discover more from LIDER-NEWS
Subscribe to get the latest posts sent to your email.