Menyusuri Lorong Waktu: Dari Diktator ke Oligarki

Reading Time: 2 minutes

Refleksi atas Manusia dan Tanah Air Indonesia

Petani dan Martabat

Di bawah langit kelabu yang merangkul bumi Jawa, saya, seorang anak negeri Batak, mencoba mencatat denyut nadi kehidupan yang berderit di antara debu sejarah dan harapan yang rapuh. Hidup ini, seperti sungai yang mengalir di tepi kampung, tak pernah diam. Ia membawa serta cerita-cerita, luka-luka, dan mimpi-mimpi yang tersapu arus waktu. Dalam kegelapan penjajahan—baik yang datang dari kapal-kapal asing maupun yang lahir dari hati kita sendiri—manusia tetap mencari makna, meski sering kali hanya menemukan bayang-bayang.

Saya teringat pada mereka, para petani di sawah yang basah oleh keringat, yang menanam padi bukan hanya untuk mengisi perut, tetapi juga untuk menegakkan martabat. Mereka adalah tulang punggung tanah air, namun sering kali hanya menjadi catatan kaki dalam kitab sejarah yang ditulis oleh para pemenang. Bukankah ironis, bahwa mereka yang memberi makan bangsa justru kelaparan, baik jasmani maupun rohani? Di sini, di antara baris-baris kehidupan yang sederhana, saya melihat cermin bangsa: kuat, namun rapuh; setia, namun dikhianati.

Sejarah, sebagaimana yang pernah saya tulis, bukanlah sekadar rangkaian peristiwa yang mati. Ia hidup, bernapas, dan berbicara melalui kita. Ketika saya menelusuri kisah-kisah leluhur, dari keraton yang megah hingga gubuk-gubuk yang reyot, saya mendengar bisik mereka: “Jangan lupakan kami, karena kami adalah akar kalian.” Tetapi, apakah kita mendengar? Atau kita terlalu sibuk mengejar bayangan kemajuan, hingga lupa bahwa kemajuan sejati hanya lahir dari mereka yang berani menatap luka masa lalu.

Cinta kepada tanah air, bagi saya, bukanlah puja-puji kosong atau nyanyian yang merdu di bibir. Cinta itu adalah perjuangan, adalah keberanian untuk berkata benar meski dunia menutup telinga. Ia adalah kesediaan untuk berjalan di jalan yang sepi, di mana hanya kebenaran yang menjadi teman. Saya pernah merasakan dinginnya jeruji, mendengar sunyi yang menusuk di pengasingan, tetapi di sana, di tengah kegelapan, saya menemukan cahaya: bahwa manusia, sekalipun dihancurkan, tidak pernah kehilangan kemampuan untuk bermimpi.

Luka Masa Lalu

Kepada kalian, generasi yang kini menginjak tanah yang sama, saya titipkan pesan sederhana: jangan biarkan sejarah menjadi sekadar dongeng. Pelajari, pahami, dan hidupi. Karena di dalam sejarah, kalian akan menemukan diri kalian sendiri—dan mungkin, jalan menuju masa depan yang lebih adil. Tanah air ini, dengan segala keindahan dan kepedihannya, adalah milik kalian. Jagalah ia, seperti seorang ibu menjaga anaknya, dengan cinta yang tak pernah lelah.

Di ujung pena saya, saya hanya bisa berharap: semoga kalian, anak-anak negeri, tak pernah berhenti bertanya, tak pernah berhenti melawan, dan tak pernah berhenti mencintai. Karena di situlah letak kemanusiaan kita.

Because the Future Deserves Great Leaders

Sumita Tobing @sumitatobing749 Founder of Liputan 6 SCTV

Because the Future Deserves Great Leaders


Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading