Masalah Sistemik Pengelolaan Barang Bukti Tindak Pidana

Reading Time: 4 minutes

Pada Oktober 2023, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) merilis kajian komprehensif mengenai pengelolaan barang bukti di lingkungan Kepolisian, Kejaksaan, dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Kajian ini mengungkapkan sejumlah permasalahan sistemik yang memerlukan perhatian serius untuk meningkatkan integritas dan efisiensi dalam penanganan barang bukti.

Temuan Utama Kajian Ombudsman RI

  1. Ketidakharmonisan Regulasi
    Rupbasan tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, sehingga tidak memiliki sistem database yang setara dengan lembaga pemasyarakatan lainnya.
  2. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM)
    Jumlah dan kualitas SDM yang menangani barang bukti di Kepolisian, Kejaksaan, dan Rupbasan belum memadai. Di Kepolisian dan Kejaksaan, tidak terdapat SDM dengan kualifikasi khusus sesuai dengan spesifikasi barang bukti, seperti barang kimia atau berbahaya. Di Rupbasan, SDM dengan kualifikasi tertentu terbatas pada petugas penilai.
  3. Sarana dan Prasarana yang Tidak Memadai
    Penempatan barang bukti di gudang penyimpanan belum seluruhnya sesuai dengan pengklasifikasian yang diperlukan, seperti gudang umum, berharga, berbahaya, terbuka, dan untuk hewan/tumbuhan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan fasilitas penyimpanan yang ada.
  4. Keterbatasan Anggaran
    Beberapa Polres tidak memiliki anggaran khusus untuk pengelolaan barang bukti, yang berdampak pada kualitas penyimpanan dan pemeliharaan barang bukti.
  5. Koordinasi Antarinstansi yang Lemah
    Kepolisian dan Kejaksaan cenderung mengelola barang bukti secara mandiri tanpa melibatkan Rupbasan, meskipun Rupbasan memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik. Kurangnya informasi mengenai status barang bukti yang dititipkan di Rupbasan menyebabkan banyak barang bukti yang overstay.
  6. Pencatatan dan Pengawasan yang Tidak Optimal
    Masih terdapat Polres yang penyimpanan barang buktinya dilakukan oleh penyidik, bukan oleh Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Sattahti). Selain itu, pencatatan secara digital dalam pengelolaan barang bukti belum merata, dan terdapat laporan masyarakat mengenai barang bukti yang rusak, hilang, atau mengalami penurunan nilai saat dikembalikan.

Rekomendasi Strategis dari Ombudsman RI

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Ombudsman RI memberikan beberapa saran strategis:

  • Koordinasi Regulasi: Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM perlu berkoordinasi untuk mengatur dan menegaskan kewenangan pengelolaan barang bukti dalam proses penanganan perkara pidana.
  • Peraturan Bersama: Penyusunan peraturan bersama mengenai pengelolaan barang bukti yang mengatur single register pada Kepolisian, Kejaksaan, dan Rupbasan.
  • Pengembangan Sistem Terpadu: Mengembangkan Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana secara Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) dengan menambahkan fitur pengelolaan barang bukti untuk memudahkan penelusuran status barang bukti.
  • Penguatan Pengawasan: Melakukan penguatan sistem pengawasan dalam pengelolaan barang bukti untuk mencegah penyalahgunaan dan kehilangan.

Rekomendasi Khusus untuk Instansi Terkait

  • Kepolisian RI: Memastikan pengelolaan barang bukti sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 dan menyediakan ruang penyimpanan yang proporsional di setiap unit kerja.
  • Kejaksaan Agung: Mengoptimalkan penggunaan aplikasi Asset Recovery Secured-data System di setiap Kejaksaan Negeri dan menyediakan ruang penyimpanan yang sesuai dengan kebutuhan.
  • Kementerian Hukum dan HAM RI: Melakukan standarisasi penataan dan pengelolaan barang sitaan dan rampasan sesuai Permenkumham Nomor 16 Tahun 2014, serta meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga fungsional penilai dan peneliti.

Kajian ini dilakukan oleh Ombudsman RI selama periode Maret hingga September 2023 melalui wawancara dengan warga binaan pemasyarakatan dan observasi di berbagai wilayah, termasuk Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat.

Saran Ombudsman: Mengapa Itu Penting?

Sebagai lembaga independen pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI memiliki mandat konstitusional untuk memberikan koreksi terhadap kinerja lembaga negara. Kajian tahun 2023 mencatat sejumlah rekomendasi strategis:

  • Harmonisasi regulasi pengelolaan barang bukti antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Rupbasan.
  • Pembentukan single register dan sistem informasi terintegrasi.
  • Standarisasi fasilitas penyimpanan sesuai dengan klasifikasi barang (berbahaya, bernilai tinggi, dll).
  • Penguatan sumber daya manusia dan sistem pengawasan berbasis teknologi.

Sayangnya, respons institusi terkait terhadap temuan ini cenderung normatif, birokratis, dan tanpa komitmen implementatif.


Polri dan Kejaksaan: Simbol Resistensi terhadap Reformasi?

Polri dan Kejaksaan sebagai dua institusi sentral dalam proses pidana, justru menunjukkan inkonsistensi dalam menindaklanjuti rekomendasi. Tidak ada laporan resmi atau dokumen kinerja yang menunjukkan pelaksanaan konkret terhadap saran Ombudsman. Koordinasi dengan Rupbasan masih lemah, barang bukti kerap tidak dititipkan secara resmi, dan dalam banyak kasus mengalami kerusakan, kehilangan, atau penurunan nilai sebelum dikembalikan ke pemilik sah.

Kondisi ini bukan hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga membuka ruang gelap bagi praktik-praktik manipulatif dan koruptif.


Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara: Terbatas tetapi Tidak Berdaya

Di sisi lain, Rupbasan sebagai institusi penyimpan benda sitaan dan rampasan negara, menghadapi keterbatasan sumber daya manusia, anggaran, dan infrastruktur. Meskipun beberapa unit daerah seperti Rupbasan Bantul menunjukkan inisiatif positif dalam pemeliharaan dan pendataan ulang, namun secara struktural, tidak ada dorongan sistemik dari pemerintah pusat untuk memperkuat perannya sebagai bagian dari rantai hukum pidana.


Pertanggungjawaban yang Hampa

Dalam konteks tata kelola negara, kegagalan lembaga untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman merupakan bentuk pembangkangan terhadap prinsip akuntabilitas publik. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 memang mengatur kewajiban menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman, namun nihilnya sanksi membuatnya seperti sekadar formalitas.

Apakah kita akan terus membiarkan praktik ini terjadi, saat barang bukti yang menyangkut hak masyarakat dikelola dengan sistem yang tak transparan dan tidak profesional?


Kesimpulan: Saatnya Ombudsman Didukung dengan Gigi Tajam

Negara memerlukan mekanisme kontrol yang kuat untuk menyeimbangkan kekuasaan lembaga eksekutif dan yudisial. Ombudsman harus diberi kewenangan lebih tegas dan ditopang dengan mekanisme sanksi administratif yang jelas agar tidak hanya menjadi “juru nasihat” yang diabaikan.

Jika rekomendasi resmi dari lembaga selevel Ombudsman terus diabaikan, publik layak bertanya: Untuk siapa lembaga negara bekerja? Untuk keadilan, atau hanya untuk mempertahankan status quo kekuasaan dan kenyamanan birokrasi?


Catatan Redaksi: Artikel ini didasarkan pada kajian resmi Ombudsman RI tahun 2023 dan laporan publik hingga Mei 2025. Kami menantikan klarifikasi atau tanggapan resmi dari lembaga-lembaga terkait sebagai wujud keterbukaan dan komitmen terhadap reformasi pelayanan publik.


Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading