Kunjungan Wapres Gibran di Humbang Hasundutan: TIDAK MERAKYAT

Reading Time: 3 minutes

Humbang Hasundutan, 18 Mei 2025 – Kunjungan kerja Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka ke Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, pada 16 Mei 2025, menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Kunjungan yang mencakup peninjauan Taman Sains Teknologi Herbal dan Hortikultura (TSTH2) di Kecamatan Pollung dan Pasar Dolok Sanggul, serta dilaporkan menyentuh Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate, dinilai gagal merefleksikan komitmen serius untuk mengatasi tantangan dan kritik terhadap program lumbung pangan tersebut.

Fokus pada Inovasi, Mengabaikan Masalah Nyata

Dalam kunjungannya, Wapres Gibran mengapresiasi inovasi riset dan hilirisasi produk herbal seperti kemenyan, kunyit, dan bunga telang di TSTH2, serta menekankan pentingnya bibit unggul untuk swasembada pangan. Namun, pernyataannya tersebut dinilai tidak menjawab permasalahan mendasar yang dihadapi Food Estate di Humbang Hasundutan, seperti konflik lahan adat, kegagalan panen, dan dampak lingkungan. Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Sumatera Utara, Delima Silalahi, menyatakan, “Kunjungan ini lebih terasa seperti seremonial tanpa menyentuh akar masalah. Petani masih berjuang dengan harga jual rendah dan konflik lahan, tetapi tidak ada solusi konkret yang dibahas.”

Program Food Estate di Humbang Hasundutan, yang berfokus pada komoditas kentang, bawang merah, dan bawang putih, telah menghadapi kritik sejak awal. Laporan menunjukkan bahwa 80% lahan di Desa Ria-Ria dan sekitarnya terbengkalai menjadi semak belukar akibat minimnya pendanaan, kurangnya infrastruktur seperti gudang penyimpanan, dan kegagalan panen karena curah hujan tinggi serta pengolahan lahan yang terburu-buru. Wakil Bupati Humbang Hasundutan, Oloan Paniaran Nababan, sebelumnya menyebutkan bahwa program ini “tidak dipedulikan” selama hampir tiga tahun, dengan petani merugi karena harga jual kentang hanya Rp4.000/kg, jauh di bawah harga pasar Rp6.000-8.000/kg.

Konflik Lahan Adat dan Dampak Lingkungan Diabaikan

Salah satu kritik utama terhadap Food Estate adalah konflik lahan adat di Desa Ria-Ria, Hutajulu, dan Parsingguran. Masyarakat adat menuntut pengakuan hak atas tanah berdasarkan SK 138/1979, tetapi lahan mereka dinyatakan sebagai hutan negara, memicu sengketa dengan investor. Selain itu, pembukaan lahan seluas 2.711 hektar, termasuk hutan kemenyan komunitas adat, meningkatkan risiko deforestasi dan hilangnya sumber mata air. Walhi Nasional memperingatkan bahwa ekspansi monokultur seperti ini dapat memperburuk krisis iklim dan menghapus kedaulatan pangan lokal. Namun, dalam kunjungan Wapres, isu-isu ini tidak disebutkan sebagai prioritas, dan tidak ada indikasi adanya dialog dengan masyarakat adat atau petani terdampak.

“Wapres berbicara tentang bibit unggul dan hilirisasi, tetapi tidak ada pembahasan soal bagaimana petani bisa mendapatkan keuntungan atau bagaimana konflik lahan diselesaikan. Ini menunjukkan kurangnya kepekaan terhadap realitas di lapangan,” ujar Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional.

Minimnya Solusi Konkret

Meskipun Wapres menyinggung tantangan bibit unggul dan mendorong TSTH2 sebagai pusat penyedia benih, pernyataannya tidak disertai rencana aksi yang jelas. Petani lokal mengeluhkan ketergantungan pada perusahaan offtaker seperti PT Indofood, yang menentukan harga rendah dan sistem penjualan rumit melalui koperasi. Selain itu, kurangnya gudang penyimpanan dan akses jalan yang memadai masih menjadi hambatan distribusi hasil panen. “Kami butuh solusi nyata seperti akses KUR yang mudah, gudang penyimpanan, dan harga jual yang adil, bukan hanya janji soal bibit unggul,” kata Amintas Lumban Gaol, seorang petani lokal.

Seremonial Tanpa Substansi

Kunjungan Wapres, yang didampingi Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, lebih menonjolkan aspek simbolis seperti kunjungan ke pasar tradisional dan TSTH2. Namun, tanpa dialog terbuka dengan petani atau masyarakat adat, kunjungan ini dinilai tidak mampu menjawab kritik global, seperti yang disampaikan pada COP29 di Baku, Azerbaijan, tentang dampak lingkungan Food Estate. Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, bahkan menyebut program ini “non-negotiable,” menunjukkan sikap pemerintah yang kurang responsif terhadap kritik.

Tuntutan Masyarakat dan Harapan ke Depan

Masyarakat adat dan petani di Humbang Hasundutan menuntut transparansi, penyelesaian konflik lahan, dan pemberdayaan petani melalui pendekatan yang berpihak pada keberlanjutan lokal. Koalisi masyarakat sipil, termasuk Walhi dan KSPPM, mendesak pemerintah untuk beralih dari model monokultur skala besar ke sistem pangan berbasis praktik lokal, seperti pengembangan kopi, kemenyan, dan andaliman, yang lebih sesuai dengan budaya dan ekosistem setempat.

Hingga saat ini, kunjungan Wapres Gibran pada 16 Mei 2025 belum menunjukkan langkah konkret untuk mengatasi tantangan Food Estate di Humbang Hasundutan. Tanpa perubahan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan, program ini berisiko mengulang kegagalan proyek serupa di masa lalu, seperti Proyek Lahan Gambut (PLG) dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).


Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading