Gotong Royong: Nilai Luhur Manis di Bibir

Reading Time: 4 minutes

Jakarta, Gotong royong, nilai luhur yang telah lama menjadi fondasi kehidupan sosial dan politik Indonesia, kini menghadapi tantangan serius dalam konteks perekonomian nasional. Meskipun semangat kebersamaan ini diabadikan dalam Pancasila dan sering dikampanyekan oleh para pemimpin, realitas di lapangan menunjukkan bahwa prinsip gotong royong terpinggirkan dalam praktik ekonomi sehari-hari.

Istilah “gotong royong” berasal dari dua kata dalam bahasa Indonesia:

  1. Gotong
    Kata ini berasal dari bahasa Jawa atau Melayu yang berarti “mengangkat” atau “memikul”. Dalam konteks tradisional, “gotong” sering digunakan untuk menggambarkan tindakan fisik mengangkat sesuatu secara bersama-sama, seperti rumah atau beban berat.
  2. Royong
    Kata ini berarti “bersama-sama” atau “kolektif”. Dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, “royong” menggambarkan semangat kolektivitas atau kebersamaan.

Gabungan Makna

Secara etimologis, “gotong royong” dapat diartikan sebagai:

“mengangkat bersama” atau “bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.”

Makna ini kemudian berkembang menjadi konsep sosial yang lebih luas, merujuk pada kerja sama sukarela antar anggota masyarakat demi kepentingan bersama, seperti membangun jalan desa, membersihkan lingkungan, atau membantu tetangga yang kesulitan.

Konteks Historis dan Budaya

Dalam tradisi Nusantara, terutama di komunitas agraris dan desa-desa, gotong royong menjadi salah satu nilai utama dalam kehidupan sosial. Konsep ini diperkuat dan diformalkan dalam ideologi negara Indonesia, Pancasila, terutama sila ke-3: Persatuan Indonesia, dan sila ke-5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Makna dalam Politik


1. Landasan Filosofis dan Ideologis

Gotong royong bukan sekadar nilai budaya, tetapi juga konsep politik yang tertanam dalam dasar negara Indonesia:

  • Pancasila, terutama sila ke-3 (Persatuan Indonesia) dan sila ke-5 (Keadilan Sosial), menjadikan gotong royong sebagai prinsip utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  • Bung Karno, dalam pidato-pidato kenegaraannya, sering menegaskan bahwa gotong royong adalah bentuk nyata dari demokrasi Indonesia — berbeda dari demokrasi liberal individualistik ala Barat.

“Pancasila, yang saya gali dari bumi Indonesia, bisa diperas menjadi satu kata: Gotong Royong.”
Ir. Soekarno


2. Manifestasi dalam Sistem Politik

a. Koalisi Pemerintahan

  • Dalam praktik politik, pembentukan koalisi besar lintas partai sering disebut sebagai “koalisi gotong royong”, terutama dalam era pasca-reformasi.
  • Tujuannya: menghindari konflik tajam antar partai, menjaga stabilitas politik, dan menciptakan kesan pemerintahan inklusif.
  • Namun dalam praktiknya, koalisi ini sering dikritik karena melemahkan fungsi oposisi dan akuntabilitas.

b. Musyawarah untuk Mufakat

  • Proses pengambilan keputusan di parlemen atau dalam lembaga negara idealnya didasarkan pada semangat gotong royong, yakni mengutamakan, bukan voting mayoritas semata.
  • Ini terlihat dalam mekanisme kerja MPR, DPR, dan DPRD yang sering menempuh jalur kompromi demi menjaga harmoni politik.

3. Gotong Royong sebagai Alat Retoris

  • Dalam praktik politik, istilah “gotong royong” sering digunakan secara simbolis atau retoris untuk membungkus agenda kekuasaan agar terkesan populis dan berorientasi rakyat.
  • Misalnya, dalam kampanye pemilu, program-program sosial-politik sering diklaim sebagai bentuk gotong royong antara negara dan rakyat — meskipun pelaksanaannya bersifat top-down atau transaksional.

4. Kritik terhadap Distorsi Makna

  • Beberapa pengamat politik menilai bahwa penggunaan istilah gotong royong dalam politik modern cenderung menyimpang dari makna aslinya, yaitu kerja bersama secara tulus dan sukarela.
  • Dalam praktik kekuasaan, gotong royong terkadang hanya menjadi justifikasi atas politik akomodasi, kompromi elit, atau oligarki kekuasaan.

TANTANGAN SAAT INI

PHK Telah Meluas ke Sektor Industri Non-Padat Karya
PHK Telah Meluas ke Sektor Industri Non-Padat Karya

Situasi Ketimpangan Sosial dan Ekonomi yang Meningkat

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga Maret 2025, rasio Gini Indonesia berada di angka 0,4, menandakan tingkat ketimpangan yang signifikan. Kondisi ini diperparah oleh melemahnya nilai tukar rupiah, deflasi selama dua bulan berturut-turut, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang telah menyentuh 45.000 buruh dari 38 perusahaan .

Krisis ekonomi ini telah memaksa banyak individu dan keluarga untuk lebih memfokuskan perhatian pada kelangsungan hidup mereka sendiri, mengurangi partisipasi dalam kegiatan kolektif yang tidak memberikan manfaat langsung.

Individualisme dan Perubahan Nilai Sosial

Modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan signifikan dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Budaya individualisme semakin mengakar, terutama di perkotaan, menggantikan nilai-nilai kolektivitas yang sebelumnya dominan. Perubahan ini menyebabkan masyarakat / elite politik lebih fokus pada kepentingan pribadi, kelompok dan keluarga, tidak berpikir gotong royong dalam tindakan sehari-hari.

Selain itu, kemajuan teknologi dan informasi telah mengubah cara interaksi sosial, dengan banyak individu yang lebih memilih berkomunikasi melalui media digital daripada tatap muka, mengurangi kesempatan untuk membangun solidaritas komunitas.

Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah

Selama pandemi COVID-19, berbagai inisiatif gotong royong berbasis digital muncul sebagai respons terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan bantuan yang merata dan adil. Platform seperti Bagirata menjadi contoh bagaimana masyarakat mengambil inisiatif untuk saling membantu, namun juga mencerminkan kritik terhadap kurangnya responsivitas dan keadilan dalam kebijakan pemerintah.

Kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dalam penyaluran bantuan sosial selama pandemi semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, mengikis semangat gotong royong yang seharusnya didorong oleh negara.


Kesimpulan

Nilai gotong royong, meskipun masih dijunjung tinggi dalam retorika politik, menghadapi tantangan serius dalam praktik ekonomi Indonesia saat ini. Ketimpangan sosial, individualisme, dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah menjadi faktor utama yang menghambat perwujudan semangat kebersamaan dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Makna gotong royong dalam politik Indonesia memiliki dimensi ideal dan realitas:

  • Secara ideal, gotong royong mencerminkan semangat kolektivitas, solidaritas, dan musyawarah yang khas Indonesia.
  • Secara realitas, makna ini sering dimanfaatkan secara politis, baik sebagai strategi merangkul kekuasaan maupun sebagai narasi untuk legitimasi program atau koalisi.

Nilai gotong royong memerlukan upaya kolektif dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, untuk membangun kembali kepercayaan dan solidaritas sosial sebagai fondasi menuju perekonomian yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dengan demikian, gotong royong tetap menjadi nilai penting dalam politik Indonesia, namun harus terus dikritisi agar tidak mengalami reduksi menjadi sekadar jargon.


Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from LIDER-NEWS

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading