
Deforestasi dan Kerusakan Hutan
PT Toba Pulp Lestari (TPL) mengelola konsesi hutan produksi yang sangat luas di Sumatera Utara, mencapai sekitar 167.912 hektare berdasarkan izin konsesi terbaru tahun 2020tanobatak.aman.or.id. Dalam operasinya, TPL dituding menyebabkan deforestasi signifikan. Menurut Rainforest Action Network (RAN), lebih dari 17.000 hektare hutan alam telah dihancurkan oleh TPL sejak beroperasi, termasuk hutan berisi pohon kemenyan (benzoin) yang bernilai ekologis dan ekonomis bagi masyarakat lokalrightsindevelopment.org. Investigasi Aidenvironment bahkan menemukan TPL masih melakukan penebangan hutan alam ±90 hektare dalam konsesinya pada triwulan pertama 2022 – ironisnya, hal ini terjadi meskipun perusahaan telah mengadopsi kebijakan No Deforestation sejak 2015aidenvironment.org.
Kerusakan hutan oleh TPL berdampak luas terhadap ekosistem Danau Toba dan sekitarnya. Penebangan hutan di sekitar kawasan Danau Toba mengakibatkan berkurangnya tutupan hutan penyangga air, sehingga memicu erosi dan pendangkalan danaumongabay.co.id. Kekayaan keanekaragaman hayati juga menurun tajam seiring konversi hutan alam menjadi perkebunan monokultur. Koalisi LSM menemukan TPL menanam eukaliptus secara monokultur di lahannya yang luas, yang menghancurkan ekosistem keanekaragaman hayati di area tersebuttanobatak.aman.or.id. Bahkan diduga, TPL melakukan penanaman hingga ke zona Hutan Lindung dalam konsesinya – kawasan yang seharusnya dilindungi justru ditanami eukaliptus demi produksijikalahari.or.id. Praktik ini jelas melanggar regulasi kehutanan dan semakin mengancam flora serta fauna lokal.
Pencemaran Air, Tanah, dan Udara
Operasi pabrik pulp TPL di Parmaksian, dekat Danau Toba, telah berulang kali dilaporkan mencemari air, tanah, dan udara di sekitarnya. Sejak era pendahulunya (PT Indorayon) pada 1990-an, warga mencatat penurunan kualitas lingkungan secara drastis. Air Danau Toba yang digunakan sebagai bahan baku proses di pabrik dikembalikan dalam kondisi sudah tercemar bahan kimia berbahayaauriga.or.id. Akibatnya, air di sekitar pabrik berbau busuk, tanaman pertanian rusak, produksi padi menurun, dan hewan ternak mati karena tercemarsumut.wahananews.co. Bahkan, atap-atap rumah warga yang terbuat dari seng dilaporkan mengalami korosi hingga bolong, diduga akibat paparan emisi gas kimia dari pabriksumut.wahananews.co. Temuan lapangan seperti ini mengindikasikan adanya polusi udara yang bersifat asam atau beracun, sejalan dengan insiden kebocoran gas klorine pada 1993 yang sempat memaksa pabrik tutup sementara.



Pencemaran limbah cair TPL juga mengancam ekosistem perairan. Limbah industri pulp dibuang ke sungai-sungai yang mengalir dari Danau Toba (antara lain Sungai Asahan) dengan kualitas jauh di bawah standar. Laporan Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebut Sungai Asahan tercemar akibat operasional TPL, sampai-sampai populasi ikan menurun drastis bahkan matimongabay.co.id. Kualitas air yang buruk ini tak hanya menghancurkan keanekaragaman hayati perairan, tetapi juga memukul sumber mata pencaharian nelayan dan petani sekitar. Secara keseluruhan, aktivitas TPL telah mengakibatkan degradasi tanah dan air; lahan sekitar perkebunan eukaliptus mengalami penurunan kesuburan (soil impoverishment) karena penggunaan kimia dan hilangnya tutupan hutanrightsindevelopment.org. Kondisi ini menunjukkan bahwa pencemaran tidak terbatas pada air dan udara, tetapi juga berdampak pada kualitas tanah dalam jangka panjang.
Dampak terhadap Flora dan Fauna Lokal
Hilangnya hutan alam TPL berarti pula hilangnya habitat bagi berbagai flora dan fauna endemik di Tanah Batak. Flora asli seperti pohon kemenyan (Styrax benzoin) yang dahulu melimpah di hutan adat sekarang semakin langka, digantikan oleh hamparan eukaliptus homogen. Padahal, hutan kemenyan merupakan ekosistem unik yang menjadi sumber resin bernilai ekonomi serta habitat bagi beragam tumbuhan bawah dan satwa liar. Konversi ke monokultur eukaliptus menurunkan keragaman jenis tumbuhan; hanya sedikit spesies yang bisa hidup di bawah tegakan eukaliptus sehingga fungsi hutan sebagai penyangga ekologi menuruntanobatak.aman.or.id. Para ahli menegaskan bahwa perkebunan monokultur semacam itu berbahaya bagi keberlanjutan alam, karena memutus rantai makanan dan siklus alami ekosistem hutan tanobatak.aman.or.id.
Dari sisi fauna, kehidupan satwa lokal terganggu. Hutan alam di sekitar Danau Toba sebelumnya menjadi rumah bagi satwa seperti berbagai jenis burung, rusa, babi hutan, kera, hingga mungkin harimau Sumatra di masa lampau. Dengan hutan yang ditebangi, satwa-satwa tersebut kehilangan tempat tinggal dan sumber pakan. Selain itu, pencemaran air berimbas pada fauna perairan: populasi ikan endemik dan biota Danau Toba menurunmongabay.co.id. Warga sekitar mengeluhkan berkurangnya tangkapan ikan, yang menandakan ekosistem perairan terganggu oleh limbah. Secara keseluruhan, kerusakan biodiversitas akibat operasi TPL sangat besar – mulai dari punahnya flora khas, terganggunya keseimbangan fauna darat dan air, hingga rusaknya tanah hutan yang semula suburrightsindevelopment.org. Dampak-dampak ini mengancam kelestarian lingkungan jangka panjang di kawasan Toba.
Konflik dengan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal
Operasi TPL selama lebih dari 30 tahun di Tano Batak diwarnai konflik agraria yang sengit dengan masyarakat adat setempat. Perusahaan dituduh merampas dan mengklaim sepihak wilayah adat sebagai konsesi mereka, tanpa proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang semestinyatanobatak.aman.or.id. Berbagai komunitas adat – di antaranya masyarakat Sihaporas (Kab. Simalungun), Natumingka, Pandumaan-Sipituhuta (Humbang Hasundutan), Nagasaribu (Tapanuli Utara), dan lain-lain – terlibat sengketa lahan dengan TPL. Data Aliansi Gerakan Rakyat (GERAK) Tutup TPL mencatat ada sekitar 20.754 hektare wilayah adat yang diklaim menjadi bagian konsesi TPL dan belum diakui hak adatnya hingga kinitanobatak.aman.or.id. Luas wilayah sengketa ini menunjukkan betapa masif dampak operasi TPL terhadap hak tanah masyarakat lokal.
Konflik-konflik tersebut acap kali berujung pada konfrontasi fisik dan kriminalisasi warga. Pada Januari 2025, empat warga adat Sihaporas (marga Lamtoras) divonis penjara oleh pengadilan atas tuduhan menganiaya pekerja TPLmongabay.co.id. Namun pembela hak adat menilai kasus ini mencederai keadilan, karena sesungguhnya warga hanya berusaha mempertahankan tanah ulayat mereka dari ekspansi TPLmongabay.co.id. Kasus serupa terjadi di Desa Nagasaribu, Kecamatan Siborongborong, ketika aksi TPL yang memblokir akses warga ke hutan kemenyan memicu pertikaian; perusahaan membantah memblokir akses, mengklaim penanaman eukaliptus dilakukan di luar wilayah adatmongabay.co.id. Insiden kekerasan juga pernah terjadi di Natumingka (2021) dan di Sihaporas (2019) di mana bentrokan antara aparat/pegawai perusahaan dengan warga mengakibatkan korban luka, termasuk anak kecil, dan warga justru diproses hukum sementara pelaku dari pihak perusahaan tidak tersentuhsumut.wahananews.co. Pola ini memunculkan tuduhan bahwa TPL kerap menggunakan pengaruhnya untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi masyarakat adat yang menolak kehadiran perusahaansumut.wahananews.co.
Situasi konflik ini telah menarik perhatian luas, baik di tingkat nasional maupun internasional. Laporan RAN pada Maret 2025 mengungkap dua insiden kekerasan terhadap komunitas adat baru-baru ini, bahkan setelah TPL menyatakan moratorium perluasan ke lahan adatran.org. Hal ini membuat komitmen moratorium TPL diragukan implementasinya. Para aktivis menyoroti bahwa selama konflik berlangsung, hak-hak masyarakat adat terabaikan – mulai dari hilangnya akses terhadap hutan sumber kehidupan (seperti hutan kemenyan dan rotan), terganggunya praktik budaya dan ritual adat karena hutan rusak (mata air tercemar tak bisa dipakai untuk upacara)tanobatak.aman.or.id, hingga trauma sosial akibat intimidasi. Seorang tokoh masyarakat adat, Delima Silalahi dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), menggambarkan situasi ini dengan pilu: “Kami dulunya hidup di surga (alam yang lestari), tapi sejak perusahaan datang kami hidup di neraka”, merujuk pada penderitaan komunitas Batak setelah hutan leluhur mereka dikuasai TPL rightsindevelopment.orgrightsindevelopment.org.
Respons Pemerintah dan Pengawasan Lingkungan
Masalah lingkungan dan sosial yang ditimbulkan TPL telah memicu berbagai respons dari pemerintah serta desakan penindakan dari lembaga pengawas dan organisasi masyarakat sipil. Pada Agustus 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjatuhkan sanksi administratif kepada PT TPL karena terbukti mencemari lingkungan Danau Toba dengan limbah industrinyarm.id. Menteri LHK Siti Nurbaya mengeluarkan Keputusan No. SK.5087/MenLHK-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2021 yang memuat 58 temuan pelanggaran hasil audit tim pengawasanrm.id. Temuan mencakup berbagai aspek pencemaran dan ketidakpatuhan pengelolaan lingkungan. Hingga pertengahan 2021, dari 58 butir temuan tersebut baru 16 butir yang dipenuhi TPL, 18 butir dalam proses perbaikan (dengan permohonan perpanjangan waktu), dan 24 butir belum ditindaklanjuti sama sekalirm.id. Menteri LHK menegaskan agar TPL segera mempercepat pemenuhan sanksi dan melaksanakan audit lingkungan menyeluruh, bahkan memerintahkan jajarannya untuk memanggil pimpinan TPL mempertanggungjawabkan pelaksanaan audit tersebutrm.id. Langkah tegas KLHK ini menunjukkan keseriusan pemerintah pusat menindak pencemaran; namun progres perbaikan dari pihak perusahaan dinilai lamban.
Isu konflik lahan adat juga mendapat atensi pemerintah. Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan perwakilan Aliansi GERAK Tutup TPL (2021) berjanji akan mengembalikan hutan adat kepada komunitas serta mendukung pemberian sanksi bagi TPL apabila terbukti melanggarfacebook.com. Sejalan dengan itu, pemerintah mulai mengakui klaim hutan adat di wilayah konsesi TPL: sejak 2016 sampai 2023 sedikitnya 11 komunitas adat di sekitar Toba berhasil mendapatkan penetapan hutan adat seluas total 7.000 hektare, yang berarti area tersebut dikeluarkan dari konsesi perusahaan dan dilindungi sebagai milik adatrightsindevelopment.org. Pengakuan hutan adat ini merupakan hasil advokasi panjang tokoh-tokoh lokal dan LSM (Delima Silalahi dari KSPPM termasuk penggerak utamanya) dan menjadi langkah positif dalam penyelesaian konflik. Selain itu, Komnas HAM dilaporkan ikut menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dalam konflik TPL dengan masyarakat adat Danau Tobaiseaes.id, menandakan aspek hak asasi manusia dari kasus ini turut diawasi.
Di tingkat daerah dan legislatif, tekanan terhadap TPL juga meningkat. Aliansi kelompok masyarakat dan NGO telah beberapa kali menggelar aksi dan audiensi ke DPRD Sumut maupun MPR RI. Pada Juli 2021, Aliansi GERAK Tutup TPL mendesak Menteri LHK agar mencabut izin operasional TPL karena banyaknya pelanggaran hukum, perusakan lingkungan, dan perampasan tanah adat oleh perusahaan tersebutjikalahari.or.id. Ketua MPR RI pun sempat menerima delegasi masyarakat Danau Toba yang memprotes TPL, menunjukkan bahwa isu ini bukan lagi konflik lokal semata tapi sudah menjadi perhatian nasionalsumut.wahananews.co. Sampai tahun 2025, pemerintah belum mencabut izin TPL sepenuhnya, namun perusahaan berada di bawah sorotan ketat. TPL pada Desember 2024 terpaksa menegaskan moratorium perluasan ke hutan adat dan komitmen zero deforestation yang baru, di mana implementasinya akan diawasi ketat oleh pemerintah, pembeli korporasi, serta lembaga independenran.orgran.org.
Laporan LSM, Media Investigasi, dan Studi Akademik
Dampak lingkungan dan konflik sekitar TPL telah didokumentasikan secara ekstensif oleh berbagai organisasi non-pemerintah, media, maupun studi akademis. Organisasi lingkungan dan hak adat seperti WALHI, KSPPM, AMAN Tano Batak, hingga Rainforest Action Network (RAN) rutin merilis laporan investigasi terkait TPL. Misalnya, investigasi bersama KSPPM-AMAN-Jikalahari pada 2021 menyimpulkan operasional TPL berjalan secara ilegal di beberapa aspek, melanggar peraturan lingkungan hidup, serta merampas hutan/tanah adatjikalahari.or.id. RAN dalam blognya menjuluki TPL sebagai “korporasi pelanggar berulang” (repeat offender) karena rekam jejak deforestasi dan pelanggaran hak komunitas yang terus berulang meski sudah diberi peringatanran.org. Laporan RAN juga menyoroti koneksi TPL dengan rantai pasok global – produk pulp TPL masuk ke bahan baku brand besar dunia (seperti Procter & Gamble, PepsiCo, Nestlé, dll), sehingga mendorong tekanan internasional agar perusahaan memperbaiki praktiknyaran.orgrightsindevelopment.org.
Media investigasi di Indonesia turut memperhatikan kasus TPL. Mongabay Indonesia, misalnya, telah menerbitkan serangkaian artikel mengenai konflik lahan TPL, pencemaran di sekitar Danau Toba, hingga kondisi buruh di perusahaan tersebut. Dalam salah satu laporannya, Mongabay menggambarkan bagaimana masyarakat adat mempertaruhkan nyawa dan kebebasan mereka dalam mempertahankan hutan leluhur dari ekspansi TPLmongabay.co.idsumut.wahananews.co. Tempo dan Project Multatuli juga menurunkan laporan mendalam: Tempo pernah mengulas dugaan manipulasi dokumen ekspor dan penghindaran pajak oleh TPL (yang menambah citra buruk perusahaan)tanobatak.aman.or.id, sementara Project Multatuli menyoroti penderitaan masyarakat adat dan perjuangan tokoh seperti Delima Silalahi yang berhasil mendorong pengakuan hutan adat atas sebagian lahan konsesi TPLrightsindevelopment.orgrightsindevelopment.org. Publikasi-publikasi ini, baik lokal maupun internasional, secara konsisten memperkuat kesimpulan bahwa operasi TPL membawa krisis sosial-ekologis di kawasan Toba.
Dari kalangan akademisi, isu TPL juga menjadi bahan penelitian terkait konflik agraria, lingkungan, dan keberlanjutan. Sebuah studi (Manalu, 2025) dalam jurnal Indigenous Southeast Asian Studies menelaah pola kriminalisasi dan konflik lahan adat oleh TPL, menyimpulkan bahwa praktik monopolistik perusahaan – lewat manipulasi data, penggunaan kekerasan, hingga propaganda – telah menciptakan “bencana ekologi” dan ketidakadilan struktural bagi masyarakat Batakiseaes.id. Kajian akademis tersebut menegaskan perlunya penghormatan hak-hak masyarakat adat dan perombakan kebijakan pengelolaan hutan untuk menyelesaikan konflik secara berkelanjutan. Temuan-temuan dari LSM, media, dan akademisi ini konsisten satu sama lain, memberikan gambaran utuh bahwa dampak lingkungan operasi TPL sangat merusak: hutan hilang, pencemaran merajalela, keanekaragaman hayati menurun, dan komunitas lokal menderita. Semua bukti ini mendorong seruan agar pemerintah dan pemangku kepentingan terkait mengambil tindakan lebih tegas untuk menyelamatkan lingkungan Danau Toba dan menegakkan keadilan bagi masyarakat terdampakjikalahari.or.idrm.id.
Sumber:
- Laporan dan rilis pers Aliansi Masyarakat Adat/LSM (AMAN Tano Batak, KSPPM, Jikalahari) tentang konflik TPLtanobatak.aman.or.idtanobatak.aman.or.idjikalahari.or.id
- Data dan temuan investigasi lingkungan (Rainforest Action Network, Aidenvironment, SPI) terkait deforestasi dan pencemaran oleh TPLaidenvironment.orgmongabay.co.idrightsindevelopment.org
- Berita media (Mongabay, Tempo, WahanaNews) tentang dampak operasional TPL bagi lingkungan dan masyarakatsumut.wahananews.comongabay.co.idtanobatak.aman.or.id
- Kebijakan dan tindakan pemerintah (KLHK, pengakuan hutan adat, sanksi 2021) menanggapi permasalahan TPLrm.idrm.idrightsindevelopment.org
- Studi akademik mengenai konflik agraria dan lingkungan TPL (Manalu 2025) dan dokumentasi hak asasi manusiaiseaes.idsumut.wahananews.co